I-Punya
this site the web

Aku, Kamu dan Dia . . . ^_^ part. 3

Setelah ayah menjelaskan semua yang berkenaan dengan Kak Andre, Mas Feri dan Ridha, beliau meminta pendapatku tentang perjodohan ini. Aku yang dari awal hanya diam dan sekedar menyimak pembicaraan penting ini, kontan saja merasa salah tingkah di depan mereka. Meskipun dengan berbagai alasan ayah dan ibu lebih setuju aku memilih Kak Andre sebagai calon tunanganku, tapi keduanya masih memberiku kesempatan untuk mengungkapkan respon dan pendapatku tentang Kak Andre dan Ridha; mana di antara keduanya yang layak untuk ku jadikan imam keluarga dan penentu masa depan anak-anakku kelak.

Ya begitulah aku di depan mereka; diam dan membisu tanpa berkata sedikitpun. Sampai-sampai ibu mengulang pertanyaan yang sama padaku, pertanyaan yang sempat dilontarkan ayah barusan. Dengan wajah malu, aku mulai mengangkat suara ditemani sepenggal lidah yang terasa kelu, gugup dan terbata-bata: “Sebenarnya Aisya tidak tau harus berkata apa. Aisa juga tidak tau harus mulai menilai Gus Aan dan Ridha dari sudut pandang yang mana. Sejauh yang Aisya tau, baik Gus Aan maupun Ridha sama-sama baik dan bertanggung jawab. Aisya melihat itu dari amanah yang mereka emban sekarang, apalagi kedepannya nanti. Dua hal itu Aisya rasa sudah cukup mewakili tolak ukur kesalehan seseorang…”, paparku pada ayah, ibu dan tante.
“Hmm bagaimana menurutmu, bu?”, tanya ayah pada ibuku.
“Ibu rasa Aisay ada benarnya juga yah. Dari semua yang ibu dengar barusan, dua-duanya baik dan bertanggung jawab. Kalo boleh ibu kasih saran, malam ini Aisya shalat istikharoh; minta petunjuk pada Allah.Ibu yakin sekali, petunjuk itu bis menjadi jawaban dari kegamangan yang sedang Aisya hadap saat ini”, papar ibu.
Aku yang berada di dekat tante hera hanya bisa menjawab: “insya Allah, bu…”.
“Ya sudah kalo githu, selang 3 hari ayah tunggu jwaban dari Aisya. Semoga apa yang kita bicarakan saat ini bisa memberi berkah buat keluarga besar kita nanti, aAmin”, kata ayah seraya melepas kopyah yang masih melekat di kepala.
“Aamin”, kami bertiga serempak menjawab doa penutup yang ayah bacakan.

Setelah makan malam, aku pergi ke ruang tengah ditemani file-file yang siap dikirim ke Semarang.  Senyum pagi dan kasih sayang orang-orang terdekat cukup memberi arti terindah bagiku; menjadikanku mampu melerai semua kegamangan dan kebingungan yang ada, sekaligus  menghadirkan semangat baru untuk tetap fokus dengan file-file pada laptopku. Sambil menunggu file terkirim lewat email, aku mulai merenung dan membatin:

“Aisya, bagaimana ini?! Bagaimana juga dengan simpati yang sempat terukir indah dalam hatimu pada sosok Ridha? apa mungkin istikharah yang akan kau lakukan nanti benar-benar bisa dijadikan jawaban dari semua peristiwa yang terjadi hari ini, sementara kau sudah menaruh hati pada salah satu dari mereka; tak lain adalah Ridha??!”

“Ya… perasaan yang sedang berbicara itu benar adanya, aku memang sempat kagum dan simpati pada Ridha. Tapi entahlah, apa karena aku merasa ada sosok Mas Feri dalam dirinya atau mungkin karena Ridha lebih dulu hadir dan masuk dalam duniaku jauh sebelum Gus Aan menampakkan dirinya di depanku; sambil pura-pura jaim seolah tidak mengenalku, ckckckckcc ^_^ lucu adja kalo aku ingat-ingat kembali kejadian kemaren lusa. Dengan kondisi basah kuyup , dia datang sendiri ke Malang dan mencari-cari alamat butik seperti yang disarankan Mbak Yuli”.

“Ya Allah, berilah hamba rahmad dan maghfirahMu agar bisa menjalani istikharah ini dengan perasaan tenang dan netral, tanpa harus condong dan berharap banyak pada salah satu dari keduanya (Ridha dan Gus Aan), Aamin Ya Rabbal Kuni wats-saqalain”.

Tiga hari berikutnya…

Aku lihat ayah dan ibu sedang berada di halaman rumah kami, menikmati indahnya koleksi anggrek tante yang ikut menghiasi bagian tengah dari halaman ini. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara tante yang sepertinya sedang memanggilku. Sedangkan aku masih tersenyum bahagia memperhatikan ayah dan ibu dari jendela kamar. Akhirnya, tante sampai juga di depan kamarku.
“Tante lihat dari kemaren-kemare Aisya jarang keluar kamar. Apa yang membuat Aisya diam menyendiri seperti ini..?”, tanya tante mengagetkan senyum yang ku sampul jauh untuk ayah ibu dari jendela kamar.
“Oowh iya, tante sampe lupa, mas Zein nyuruh tante manggil Aisya keluar. Ayuuk kita kesana bareng. Sekalian tante mau nunjukin disain baju-baju terbaru yang  sudah digarap sejak awal April lalu”, sapa tante padaku.
“Ayah memanggilku… Ya sudah kalo githu, Aisya ambil jilbab dulu trus kita ke halaman”,  balasku.

Tak lama, sampailah kita di halaman rumah…
“Aisya, bagaimana dengan istikharahmu selama tiga hari ini? Apa sudah ada petunjuk siapa dari mereka yang Aisya pilih?,”  tanya ibu langsung ketika aku sudah berada di antara mereka.
“Begini ibu…, selama tiga kali Aisya melakukan istikharah, di dua istikharah terakhir Aisya baru bisa mendapatkan petunjuk yang sama. Sedangkan di istikharah pertama, Aisya tidak mendapatkan petunjuk apapun”, jelasku pada ibu dan ayah, juga tante yang serius mendengarkanku.
“Trus, apa petunjuk itu?!!”, tanya ayah.

“Di istikharah yang kedua dan ketiga, Aisya merasa ada seseorag yang mengetok pintu rumah ini. Aisya beranikan diri pergi ke ruang depan dengan mukena yang masih Aisya pakai.  Ketika Aisya buka pintu, Aisya meliat Kak Feri mengucapkan salam dan Gus Aan berada di belakang Kak Feri. Ketika Aisya hendak menjawab salamnya, Aisya terbangun dari tidur… Ya begitulah apetunjuk yang Aisya dapat”, paparku.

Tante yang dari awal mendengarkan penjelasanku hanya bisa berkomentar: “Mungkin aku harus mengalah dan mengizinkan Aisya bersanding dengan nak Andre, toh Feri tidak keberatan dengan hal itu…”.

Sebulan kemudian, aku melangsungkan pertunangan sekaligus akad nikah dengan Gus Aan di Semarang, tepatnya di mesjid At-taqwa samping rumah yang pernah dibangun kakek dulu. Gaun yang dihadiahkan Mbak Yuli juga aku kenakan di hari yang begitu bersejarah ini. Tiga permintaan yang aku ajukan secara pribadi pada Gus Aan benar-benar dipenuhinya dengan penuh harap mendapat rahmad dan ridha-Nya.


“Tiga permintaan yang aku ajukan, antara lain:
1. Mahar pernikahan kami, hanya satu; Mushaf Al-quran Al-kariem
2. Komitmen pernikahan kami, hanya satu; Kejujuran
3. Inti dan tujuan dari pernikahan kami, hanya satu; Ridha Ilahi…”.

Semoga bisa mengambil hikmah yang tersurat maupun tersirat dari kisah sederhana ini, Amien




0 komentar:

Posting Komentar