I-Punya
this site the web

Aku, Kamu dan Dia . . . ^_^ part. 2

Perasaan bingung  dan penuh tanda tanya masih saja menghantuiku sampai pukul 23.00 malam. Ditambah lagi dengan kabar terbaru yang disampaikan tante kalo ayah dan ibu sudah berangkat menuju Batu sejak magrib tadi, agar bisa menjelaskan semua duduk permasalahan yang ada. Sorenya, tante juga cerita kalo Gus Aan sekeluarga pernah menemui ayah-ibuku di Semarang dan menyampaikan maksud baik mereka; tanpa pernah memberitauku tentang kedatangan mereka sebulan yang lalu. Bahkan keduanya berpesan pada tante untuk tidak memberitauku tentang hal ini, sampai mbak Yuli sendiri yang menyampaikan niat adik sepupunya itu padaku.

Sungguh, malam ini benar-benar berbeda dari sebelumnya; aku diantara file-file yang harus dibaca ulang untuk memastikan tidak ada kesalahan sedikitpun pada laporan bulanan yang harus aku kirim ke Semarang besok lusa, terutama laporan keuangan di butik kami. Sayangnya, pikiran kacau dan tidak fokus dengan file-file pada laptop yang sudah menyala dari pukul 19.30 membuatku bolak-balik tidak karuan. Ingin sekali memejamkan  mata, mencoba menghilangkan semua kegamangan yang terjadi hari ini, tapi semua usahaku berakhir sia-sia.  Bisa saja aku menutup kedua bola mataku, tanpa pernah bisa menutup diri dari realita yang sedang aku hadapi; karena terus berdiam diri seperti ini tidak akan bisa menenangkan kekacauan hati yang hanya bisa diisi dengan pertanyaan-pertanyaan tak beralasan.

Rasa bosan membuat diriku sengaja ingin melangkah ke kamar mandi. Membasahi wajah dengan wudhu, kemudian menuju mushalla kecil di samping kamar Tante Hera dan melaksanakan shalat sunnah dua rakaat disana; memohon ketenangan hati sampai aku benar-benar yakin dengan penjelasan ayah besok sore. Beberapa ayat dari mushaf biru yang dibelikan tante untukku ikut menutup munajatku malam itu. “Ya Allah, berilah ketenangan hati kepada hambaMu yang penuh prasangkan dan ketidakpastian ini, aAmin Ya Mujibas-Saailiin…”.

Setelah melipat rapi mukena yang ku pakai, aku tidak kembali ke kamar. Tetapi lebih memilih beranjak menuju ruang kerja tante Hera. Aku ketok pintu dan minta tante Hera menemaniku tidur malam ini. Dengan senyum khasnya, beliau menuruti permintaanku, bakhan berjanji akan mengajakku jalan pagi untuk merefreshkan diri dari kebingungan dan kegamangan yang sempat terjadi hari ini.

Kota Kenangan. Selasa, 13-4-2008
Ais… Ayo cepetan! tante dah lama nunggu di luar, ntar keburu naik lagi mataharinya”, seru tante dari halaman rumah.
Iya tante, ni Aisya lagi ngerapiin jilbab…”, sambil menyulam senyum pagi buat tante, aku bergegas keluar dan mengunci pintu rapat-rapat.
“Kira-kira, kita mau jalan kemana pagi ini?”, tanyaku pada tante yang sedang memperhatikan bunga anggrek kesukaannya.
“Kita ke taman komplek sebelah. Kemaren Tante perhatikan, disana nampak indah dan masih keliatan natural. Kebetulan disampingnya ada Toko Anggrek yang bisa tante kunjungi, hehehee…”, sambil tak lepas dari senyum khasnya.
“Okelah kalo githu… Yuk kita berangkat sekarang”, sambutku ditemani keceriaan pagi yang mulai bisa merebut hati dari pikiran kacau yang menghantuiku.

Setelah agak lama berjalan santai, sampailah kita di taman komplek sebelah…
“Nah, itu dia taman yang tante bilang…”, sembari menunjukkan jarinya pada area taman yang begitu indah dan sejuk.

Disini, tante menceritakan semua yang beliau ketahui dari keluarga besarku di Semarang, termasuk Mbak Yuli yang dari awal sudah simpati dengan sikap dan pribadiku. Kata Mbak Yuli pada tante Hera: : “Meskipun Aisya itu sedikut usil, tapi dia anak yang baik dan nurut sama orang tua. Dia juga mudah bergaul dengan semua orang, tanpa pernah lupa dengan nilai kesederhanaan dan kesantunan”. Jujur saja, aku terlihat begitu tersipu mendengar semua tentangku dari Mbak Yuli. Semoga ini bisa melatihku untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya, aAmin Ya Rabb…

“Tante, sepertinya embun ditaman ini sudah pada menguap ke atas dan matahari juga mulai menampakkan keperkasaannya… Bagaimana kalo kita pergi ke Toko Anggrek sekarang sebelum pulang ke rumah?”, ajakku pada tante sambil menunjuk toko  yang baru dibuka pemiliknya.
“Boleh, yuuk kita pergi kesana”, sambut beliau.

Sebelum sampai ke toko itu, kami bertemu dengan Bu Erli …
“Eeh, mbak Hera…  tumben pagi-pagi udah lewat sini…”, tanya bu Erli
“Iya ibu.. kebetulan tadi kita pergi ke taman di komplek ini.. sekalian pengen mampir ke Toko Anggrek di depan situ…”, balas Tante.
“Wah kebetulan sekali kalo githu… Gimana kalo mbak Hera mampir dulu ke rumah saya… Ridha, ini ada mbak Hera dan Aisya di depan!”, panggil Bu Erli pada Ridha, anaknya.

Aku melihat seseorang di samping rumah Bu Erli yang terlihat sibuk membersihkan sisa kayu dan beton di depan sebuah bangunan yang masih terlihat baru.
“Iya bu… saya ingat nak Ridha… setiap kali pulang liburan, dia sempatkan main ke rumah…”,  kata Tante Hera.
“Tapi, ko sepertinya dia sedang sibuk githu bu…?”, tanyaku.
“Ibu lupa ngasih tau kalian yaa… Bangunan itu sengaja dibikin buat klinik nak Ridha.. Biar kalo mau berobat ngga jauh-jauh ke rumah sakit…”, sambil tersenyum bangga dengan keberhasilan anaknya itu, Bu Erli menjelaskan pada kami.
“Alhamdulillaah, saya ikut senang dengan keberhasilan nak Ridha… saya juga ngerasa dekat sekali dengan dia… Serasa anak sendiri… Entah kenapa… Kalo liat nak Ridha jadi inget Feri…, Apa mungkin karna Feri juga pernah bercita-cita jadi dokter ya?!!”, sambil tersenyum manis, tante terus saja menyertakan mas Feri dalam ingatan beliau.
“Sebenarnya ya mbak, saya tidak keberatan kalo Aisya jadi menantu saya…”, kata Bu Erli tiba-tiba.
“Saya bicara jujur lho Mbak Hera… Asal tau adja ya mbak, setiap kali  Ridha datang dari rumah Mbak Hera, selain mbk dia juga sering cerita tentang Aisya…”, jelas Bu Erli pada kami berdua; membuatku tidak enak hati mendengar penjelasan berikutnya.
“Aah Bu Erli bisa adja… Kita kan tinggal berdua. Kalo bukan cerita tentang saya, pasti Ridha cerita tentang Aisya… Iya khan Ais?!’ tanya tante mengagetkanku
“Eeh.. iya iya…”, jawabku gugup.
“Tapi bener lho mbak, serasa beda adja kalo dia cerita tentang Aisya… dibilangnya Aisya itu ngga pernah keluar menemui Ridha, kalo dia lagi ke rumah Mbak  Hera… kecuali Mbak Hera yang nyuruh Aisya keluar menemui Ridha, atau keduanya betemu di butik ketika saya menyuruh Ridha ngambil gaun pesanan saya. Sebagai ibunya, saya faham dengan yang satu ini… Kira-kira, bagimana kalo kita lanjut semua ini jadi hubungan keluarga? Bagaimana Aisya, kamu setuju?”, pertanyaan spontan Bu Erli yang baru saja dilontarkannya itu benar-benar menodongku.
“Eeeh… hmmm… (aduuh aku bingung sekali… apa yang harus aku katakan pada bu erli..??)”, batinku.
“Eeh iya bu, sepertinya kita sudah harus segera pulang… khawatir karyawan di butik sudah pada datang… nanti sore ayah Aisya datang dari Semarang… insya Allah saya sampaikan maksud baik Bu Erli dengan keluarga kami. Kami permisi dulu ibu, Assalamu’alaikum..”, pamit tante pada Bu Erli dan Ridha yang berada tidak jauh dari kami.

Sore 16.00, ayah dan ibu tiba di rumah. Aku bantu merapikan ruangan dan bawaan mereka. Setelah beristirahat agak lama, ayah mulai menyuruh kami berkumpul habis shalat maghrib untuk menceritakan kedatangan Gus Aan beserta keluarganya di Semarang. Beliau bilang  kalo Gus Aan bercerita banyak tentang kuliahnya di Kairo dan pertama kali dia mengenalku; Neng Ica, teman baikku di Pesantren yang juga adik bungsu Gus Aan mengenalkanku padanya. Aku tidak menyangka sampai sejauh itu, ternyata Neng Ica serius untuk menjadikanku kakak iparnya.

“Mas Zein, sepertinya Bu Erli, salah satu pelanggan disini pengen menjodohkan anaknya Ridha dengan Aisya… Jujur saja, setiap kali aku melihat Ridha, aku selalu ingat Feri, entah kenapa… Kalo seandainya perasaanku sebagai seorang ibu ini benar, aku masih berat mengizinkan Aisya bertunangan dengan Andre atau Gus Aan seperti yang diharapkan Mas Zein juga Mbak Ira. Apalagi seperti yang pernah Mas Zein bilang, kalo sampai ini terjadi, Aisya akan ikut suaminya tinggal di Kairo dan melanjutkan kuliahnya disana.. Lantas bagaimana denganku disini? Aku sudah sayang sekali dengan Aisya, layaknya anak sekaligus menantuku sendiri.
“Begini adikku”, sapa lembut ayah.
“Mungkin sudah waktunya aku mengatakan yang sebenarnya padamu… Hmm, sebenarnya kecelakaan Arif dan anakmu Feri bukan peristiwa kecelakaan biasa…”, jelas ayah.
“Maksudnya?? Aku tidak mengerti”, balas tante.
“Yah, apa tidak sebaiknya Aisya pergi ke kamar dan tidak ikut mendengar semuanya?”, tanyaku.
“Tidak Aisya, kamu tetap disini mendengarkan semua yang akan ayah ceritakan pada tantemu, juga padamu”, jawab ayah.

Aku hanya bisa nurut dan ikut menyimak penjelasan ayah…
“Sebenarnya begini, pada waktu kecelakaan itu Ridha sedang ada di tempat kejadian. Dia naik motor hendak menjemput ibunya di terminal. Tapi sayang, bukan ibu yang seharusnya dia jemput, malah kemalangan yang dia dapat. Ketika kecelakaan itu, dia juga menjadi korban. Dia terpelanting dengan sepeda motor yang ditumpanginya sehingga  menyebabkan tangan kanan patah dan kedua kornea matanya sobek..
“Astaghfirullaah, bagaimana semua ini bisa terjadi?!”, teriak tante secara spontan.
“Iaa… seperti itulah kejdian sebenarnya”, jelas ayah.
“Waktu kecelakaan itu terjadi, Feri sempat melihat Ridha dan sepeda motornya terpelanting ke belakang. Sejak dirawat inap, Feri tidak berhenti menanyakan kondisi ayahnya dan nak Ridha yang juga menjadi korban dari peristiwa mengenaskan itu. Feri berpesan padaku untuk membantu korban bersepeda motor yang sempat ditabrak mobil ayahnya… Dia terus memohon kepadaku untuk membantu semua kebutuhan Ridha. Meskipun harus mengorbankan sesuatu dari miliknya. Dalam kondisi yang meneganggkan itu, aku tidak kuat kalo harus memberitau yang sebenarnya padamu, Apalagi sejak kematian Feri di rumah sakit, kamu terus mengurung diri, bahkan tidak mau ikut serta dalam prosesi pemakamannya. Aku sangat khawatir dengan kondisimu saat itu, kalo harus memberi tau detail semunya”, jelas ayah.
“Dokter yang merawat Ridha sempat memvonis dia buta selamanya. Aku hanya bisa melaksanakan pesan terakhir Feri untuk mengurus semua keperluan Ridha, satu-satunya korban selamat dari kecelakaan itu. Termasuk menyetujui pendonoran mata milik Feri ke Ridha…”, tambah ayahku mengahiri semua penjelasan singkatnya.

Tante Hera hanya bisa diam dan syok dengan cerita ayah. Ibu yang berusaha menenangkan tante menyuruhku mengambil air putih di ruang makan. Mukena yang ku pakai ikut basah dengan tangis peristiwa masa lalu keluarga kami…

“Ridha… Pantas saja… Aku melihatmu seperti anakku Feri”, kata-kata Tante Hera sambil terisak air mata.

0 komentar:

Posting Komentar